Istana Pagaruyung, yang terletak di Tanah Datar, Sumatera Barat, adalah lambang keagungan budaya Minangkabau yang megah dan bersejarah.
Istana ini, dengan arsitektur tradisionalnya yang khas dan atap gonjong yang menjulang, menjadi saksi bisu kejayaan kerajaan Pagaruyung di masa lalu.
Dibangun kembali dengan teliti setelah beberapa kali mengalami kebakaran, Istana Pagaruyung kini berdiri sebagai museum hidup yang menampilkan warisan budaya, adat, dan sejarah masyarakat Minang.
Setiap sudut istana ini dipenuhi dengan ornamen ukiran yang indah, artefak sejarah, dan pakaian adat yang memukau, menawarkan pengunjung pengalaman mendalam tentang kehidupan dan tradisi Minangkabau.
Mengunjungi Istana Pagaruyung adalah seperti melangkah ke masa lalu, merasakan keanggunan dan kebesaran yang masih terjaga hingga kini.
Sejarah dan Asal Usul Istana Pagaruyung
Istana Pagaruyung semula didirikan oleh Raja Adityawarman, menjadi landmark bersejarah yang penting. Lokasinya awalnya di Bukit Batu Patah, namun pada tahun 1804, istana ini hancur terbakar selama perang Padri.
Keinginan untuk menghidupkan kembali kejayaan istana ini muncul kembali pada tahun 1976, ketika sebuah replika dibangun di Kabupaten Tanah Datar, sebuah inisiatif yang dicetuskan oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Harun Zain, sejak tahun 1968.
Harun Zain mengusulkan pembangunan kembali istana ini sebagai simbol persatuan bagi masyarakat Minang, khususnya pasca peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Pembangunan kembali Istana Pagaruyung juga bertujuan untuk memperkuat rasa kebanggaan masyarakat lokal terhadap tradisi dan budaya Minang.
Pada tahun yang sama, Istana Pagaruyung ditetapkan sebagai situs cagar budaya dan dibuka sebagai destinasi wisata, sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar nomor 2 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanah Datar.
Pada tanggal 27 Februari 2007, Istana Pagaruyung terkena musibah kebakaran besar akibat sambaran petir yang mengenai puncak istana. Kebakaran ini mengakibatkan kerusakan serius, menghanguskan sebagian besar dokumen dan kain hiasan yang ada di dalamnya.
Hanya sekitar 15 persen dari barang-barang berharga yang berhasil diselamatkan dari api. Proses rekonstruksi dilakukan setelahnya dan Istana Pagaruyung yang baru diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada Oktober 2013.
Meskipun kini telah diperkuat dengan struktur beton modern, pembangunan kembali istana ini tetap mempertahankan penggunaan teknik tradisional dan material kayu sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan arsitektural Minangkabau.
Desain Arsitektural dan Fungsi Istana Pagaruyung
Istana Pagaruyung membedakan dirinya dari rumah gadang lainnya melalui desain unik yang menghiasi bangunannya, terutama lewat 60 ukiran yang merefleksikan filosofi dan kebudayaan Minangkabau. Ornamen khas yang ditemukan di istana ini adalah ukiran flora seperti bunga dan dedaunan yang memperkaya estetika bangunan.
Istana Pagaruyung memiliki struktur tiga lantai yang didukung oleh 72 tonggak, memamerkan 11 gonjong atap yang megah, dan tanduk yang dibuat dari 26 ton serat ijuk. Selain itu, istana ini juga dihiasi dengan 100 replika furnitur dan artefak antik yang menambah kekayaan budaya Minang.
Baca Juga: Sejarah Candi Muara Takus, Candi Budha Tertua di Indonesia
Istana Pagaruyung menampilkan desain unik dengan adanya anjung, atau penaikan lantai, di sisi kanan dan kirinya. Kehadiran anjung ini mencerminkan identitas Istana Pagaruyung sebagai Rumah Gadang Koto Piliang, yang mengadopsi sistem pemerintahan aristokratik dimana posisi duduk dalam istana ditentukan berdasarkan status sosial.
Museum Istana Pagaruyung bukanlah museum biasa. Sejarahnya sebagai kediaman Raja Alam menjadikannya pusat pemerintahan dari sistem konfederasi yang dipimpin oleh triumvirat, atau tiga pemimpin yang dikenal sebagai Rajo Tigo Selo. Hal ini menambah nilai historis dan kultural yang kental.
Secara fungsional, lantai dua Istana Pagaruyung pada masa lampau digunakan sebagai kamar tidur raja. Sedangkan lantai tiga, tidak hanya dijadikan tempat semedi bagi raja tetapi juga sebagai titik strategis untuk memantau keadaan saat terjadi perang.