Fort Rotterdam adalah salah satu situs bersejarah yang berasal dari Kerajaan Gowa-Tallo, berlokasi di tepi pantai bagian barat Makassar, Sulawesi Selatan.
Konstruksi benteng ini dimulai pada tahun 1545 di bawah arahan Raja Gowa yang ke-10, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, yang dikenal juga dengan gelar Karaeng Tunipalangga Ulaweng. Awalnya, desain benteng ini mengikuti pola segi empat yang merupakan karakteristik umum benteng Portugis.
Akan tetapi, setelah Kerajaan Gowa-Tallo kalah dan menandatangani Perjanjian Bongaya di abad ke-17, kendali atas Benteng Fort Rotterdam berpindah ke tangan Belanda. VOC kemudian merekonstruksi benteng ini, mengubahnya menjadi struktur yang kita lihat saat ini.
Kronik Benteng Fort Rotterdam
Dilansir dari situs Celebes.co, sejarah Fort Rotterdam berawal dari masa Kerajaan Gowa-Tallo, saat itu dikenal sebagai Benteng Jumpandang atau Benteng Ujung Pandang.
Awal pembangunannya menggunakan tanah liat sebagai material utama, namun pada tahun 1634 selama pemerintahan Sultan Alauddin, struktur benteng diperbarui menggunakan batu padas dari Pegunungan Karst di Maros.
Serangan dari VOC yang dipimpin oleh Cornelis J. Speelman antara tahun 1655 dan 1669 menyebabkan kerusakan besar pada benteng.
Pada masa itu, Kerajaan Gowa-Tallo di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, terpaksa menyerahkan benteng ini kepada Belanda sebagai bagian dari kesepakatan dalam Perjanjian Bongaya, yang ditandatangani setelah kekalahan dalam Perang Makassar.
Setelah beralih ke tangan Belanda, nama benteng diubah menjadi Fort Rotterdam, mengambil nama dari tempat kelahiran Speelman.
Speelman selanjutnya merekonstruksi benteng, menggantikan bagian yang rusak dengan arsitektur Belanda. Dari titik ini, Fort Rotterdam menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Sulawesi, menandai babak baru dalam sejarahnya sebagai situs bersejarah penting.
Peran Benteng Fort Rotterdam
Fort Rotterdam awalnya dibangun sebagai bagian dari sistem pertahanan yang terdiri dari 15 benteng oleh Kerajaan Gowa-Tallo, bertujuan untuk melindungi wilayahnya dari invasi Belanda.
Dari keseluruhan benteng tersebut, yang membentang dari utara ke selatan dengan Benteng Somba Opu sebagai benteng utama, kini hanya Fort Rotterdam yang masih berdiri dengan kondisi relatif baik, sedangkan benteng lainnya telah dihancurkan oleh Belanda.
Melalui berbagai periode sejarahnya, Fort Rotterdam telah berfungsi dalam kapasitas yang beragam, beradaptasi dengan perubahan keadaan zaman.
Dari sejak dikuasai Belanda hingga tahun 1930-an, benteng ini telah digunakan sebagai markas komando militer, pusat perdagangan, kediaman pejabat tinggi, dan pusat administrasi pemerintahan.
Salah satu momen bersejarah yang terkait dengan Fort Rotterdam adalah penahanan Pangeran Diponegoro di benteng ini mulai tahun 1833 hingga meninggalnya pada 8 Januari 1855.
Di sinilah Pangeran Diponegoro menuliskan catatan tentang budaya Jawa, termasuk wayang, mitologi, sejarah, dan ilmu pengetahuan.
Selama Perang Dunia II, benteng ini juga berfungsi sebagai kamp tawanan perang oleh Jepang, dan selama periode pendudukan Jepang (1942-1945), dijadikan sebagai pusat riset ilmu pengetahuan dan bahasa.
Dari tahun 1945 hingga 1949, Fort Rotterdam kembali dijadikan sebagai pusat aktivitas militer Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pejuang Indonesia.
Pada dekade 1970-an, benteng ini menjalani restorasi besar-besaran dan saat ini telah menjadi sebuah pusat kebudayaan, pendidikan, serta venue untuk acara musik dan tari, menjadikannya destinasi wisata sejarah yang penting.
Dalam area kompleks benteng, terletak Museum La Galigo, sebuah museum yang mewakili Provinsi Sulawesi Selatan. Museum ini memamerkan berbagai artefak seperti objek bersejarah, naskah kuno, patung, keramik, serta busana adat.
Arsitektur Kompleks Benteng Fort Rotterdam
Struktur Benteng Fort Rotterdam, yang terinspirasi dari bentuk penyu, mencerminkan filosofi Kerajaan Gowa yang menguasai daratan dan lautan.
Awalnya, kompleks ini dibangun dengan enam bastion, dikelilingi oleh dinding setinggi tujuh meter dan parit dengan kedalaman dua meter. Namun, kini hanya lima bastion yang masih berdiri, masing-masing masih menyimpan meriam, yakni:
- Bastion Bone di posisi barat,
- Bastion Bacan di sudut barat daya,
- Bastion Buton di sudut barat laut,
- Bastion Mandarsyah terletak di sudut timur laut, serta
- Bastion Amboina di sudut tenggara.
Bastion keenam, Ravelin, saat ini tidak lagi terlihat. Kompleks Fort Rotterdam menampung berbagai bangunan berarsitektur kolonial, termasuk gerbang masuk, sumur tua, parit, dan dinding pembatas.
Dari 13 bangunan di dalam benteng, 11 di antaranya merupakan struktur asli dari abad ke-17, sementara dua bangunan lainnya didirikan selama pendudukan Jepang.
Bagian utara kompleks menyimpan bangunan tertua yang dibangun pada tahun 1686, termasuk kediaman gubernur, rumah pedagang senior, kapten, dan sekretaris, beserta beberapa gudang senjata.
Rumah yang dulu ditempati oleh gubernur, yang sering disebut sebagai Rumah Speelman, kini merupakan bagian dari Museum La Galigo. Bangunan di sisi selatan, yang awalnya digunakan sebagai gudang, saat ini juga berfungsi sebagai museum.
Barak di sisi timur sekarang berfungsi sebagai sebuah perpustakaan mini, menampung kumpulan buku-buku kuno Belanda, catatan perjalanan kapal VOC, serta naskah-naskah lontar.
Lantai dasar dari bangunan sudut tenggara benteng dulunya berfungsi sebagai penjara, sedangkan penjara Pangeran Diponegoro berada di Bastion Bacan.